Ada sebagian
fuqaha yang mengklasifikasikan ampunan dan maaf-Nya Allah.
Kata beliau-beliau, yang diampuni itu adalah dosa dan maksiat kepada Allah.
Sedang dosa kepada manusia, ampunan dan maaf tetap terletak pada keridhaan
manusia yang bersangkutan.
Tapi kalo saya pribadi mah engga begitu.
Kalau Allah sudah berkehendak mengampuni, mengapa lagi harus menunggu
ampunan dan maaf dari manusia.
Yang penting kita mau memohon ampunan-Nya, meminta maaf-Nya,
mengimani-Nya kembali seraya memperbaiki diri dan berbuat kebaikan.
Urusan dengan manusia dengan segala problematika kehidupannya akan menjadi
urusan Allah.
Ia yang akan mengurus sebaik-baiknya urusan.
Lihat saja firman-firman-Nya berikut ini:
“… Barangsiapa yang mendapatkan pelajaran dari Tuhannya, menerima
peringatan dari-Nya, lalu dia menghentikan langkah buruknya, maka yang lalu
biarlah berlalu. Dan urusannya menjadi urusan Allah…” (al Baqarah: 275).
“… Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan dosa [sebelum ayat ini Allah
menyebut sekian deretan dosa besar] maka sungguh ia melakukan perbuatan salah.
Akan ditimpakan baginy azab di hari kiamat kelak dan dihinakan sehina-hinanya.
Kecuali mereka yang berhenti, kembali beriman dan mengerjakan amal kebaikan.
Maka mereka inilah yang akan Allah gantikan keburukannya dengan kebaikan demi
kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al
Furqân: 68-70).
Bahkan menilik dari ayat 68-70 surah al Furqan di atas,
Allah malah menjanjikan merubah keadaan buruk menjadi keadaan baik.
Kuncinya, hentikan saja dulu perbuatan buruk, kembali mengimani-Nya dan
melakukan perbuatan baik.
Kalau tadinya ia terhina sebab kelakuannya, kelak ia akan menjadi terhormat.
Kalau tadinya ia punya hutang banyak, dan tidak sanggup menemui orang-orang
yang dijadikan tempat berhutang,
kelak urusan Allah membayarkan hutang-hutangnya dan menjadikannya banyak
uang.
Kalau tadinya seribu orang mengenal diri dia sebagai perusak dan penjahat,
maka urusan Allah mengubah citra dirinya menjadi dikenal sebagai manusia
mulia yang terhormat.
Allah punya berjuta cara misterius dalam menolong dan mengangkat derajat
seseorang.
Dan Dia juga punya kuasa untuk membolakbalikkan keadaan seseorang.
Sehubungan dengan luasnya kesempatan yang diberikan Allah, kita mengetahui
lewat firman-Nya,
bahwa Dia pun pernah memberikan kesempatan kepada Fir’aun untuk memperbaiki
diri.
Kalau saja terhadap Fir’aun, yang tingkat kejahatannya sudah diabadikan di
Qur’an diberikan kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki diri dan beroleh
rahmat-Nya kembali, apalagi kita?
Mudah-mudahan Allah berkenan mengampuni kita dan mengubah jalan hidup kita;
“Apakah sudah sampai berita tentang Musa kepadamu? Yaitu ketika Tuhan
memberinya wahyu di bukit yang diberkati, pergilah engkau kepada Fir’aun
sesungguhnya dia adalah manusia pendurhaka. Dan katakanlah kepadanya, akankah
ia sudi mensucikan dirinya…?” (an Nazi’ât: 15-18).
Sebagai manusia yang tidak pernah luput dari kesalahan dan dosa,
kita tidak boleh memutusasakan seseorang dari rahmat Allah.
Misalnya dengan mengatakan bahwa dosanya tidak akan terampuni, atau ia
menjadi terlaknat.
Kalau bisa malah kita gembirakan hatinya, dan kita ajak ia untuk menggapai
lagi kebersihan hati untuk menggapai rahmat dan ridho-Nya.
Akan halnya kesusahan, memang ia kadang harus diakui penyebab yang paling
banyak adalah lantaran kita sendiri yang menimbulkannya.
Maka menjadi indah tawaran-tawaran Allah untuk kita mensucikan diri kita.
Kalau kita sudah bersih kembali, atau paling tidak ada upaya pembersihan
diri,
maka Allah pun berkenan untuk mendekat kembali kepada kita,
dan memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan kita. Semoga.
Di mata Allah, semua manusia berkesempatan sama, berkesempatan
memperbaiki diri dan berkesempatan memperoleh ampunan dan rahmat-Nya kembali.